JURNAL & PENELITAIN DOSEN

POLA PERILAKU KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH STUDI KASUS: ANALISIS INOVASI PEMERINTAH DAERAH | KABUPATEN LOMBOK UTARA
H. ABDURRAHMAN, MM. & H. M. JUNAIDI., MM”

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Selama 10 tahun terakhir ini di Indonesia telah terjadi pemekaran daerah secara besar-besaran yang menimbulkan kritik dan kecemasan di kalangan tertentu. Namun, di pihak lain ada juga yang mendukung pemekaran terutama dari daerah-daerah. Perlu diketahui, dari tahun 1999 hingga 2009, terbentuk 205 daerah baru yang terdiri atas 7 Provinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota. Jumlah daerah otonom di Indonesia hingga Bulan Oktober 2009 adalah 424 buah, terdiri atas 33 Provinsi, 398 Kabupaten ‘dan 93 Kota.
Pemekaran daerah era reformasi erat kaitannya dengan dua faktor utama. Pertama, keterbukaan dan demokrasi pasca Soeharto. Kedua, kebijakan pemerintah yang bergeser dari sentralisasi ke desentralisasi. Pemekaran daerah era reformasi bersifat boftom-up, dimulai dari aspirasi elit-elit daerah atau kelompok-kelompok masyarakat. Terdapat kecendrungan kuat bahwa pembentukan suatu daerah baru di era reformasi hampir selalu diawali dengan pembentukan suatu panitia atau tim yang beranggotakan elit-elit lokal, dilanjutkan dengan penggalangan massa sebelum akhirnya menyampaikan proposal pemekaran kepada Pemerintah Pusat melalui DPR, Depdagri, atau DPD. VIEW JURNAL
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI KABUPATEN LOMBOK UTARA
IWAN TANJUNG S dan ALFIAN HIDAYAT

” ABSTRAK’’
Modemisasi politik ditandai dengan keterlibatan berbagai entitas politik dalam proses politik tanpa diskriminasi. Partai politik berperan penting dalam membangun partisipasi politik publik, salah satunya keterlibatan perempuan dalam akses politik. Perempuan tidak lagi di stigmatisasi sebagai penghuni ruang domestik, tetapi harus mampu mengambil bagian dalam proses politik. Hasil penelitian menunjukkan paternalisme politik masih menjadi persoalan bagi keterlibatan perempuan dalam politik. Temuan tersebut kembali diperparah oleh rendahnya refresentasi perempuan pada struktur strategis sehingga politisi perempuan masih belum mampu mewarnai keputusan- keputusan politik di daerah.
Kata Kunci: Politik, Partisipasi politik perempuan.
VIEW JURNAL

 LATAR BELAKANG

Masa reformasi merupakan titik tolak dari slogan kembali ke Desa, yang menekankan pada pembaruan otonomi desa yang ditandai oleh desentralisasi kekuasaan dengan terbitnya UU No.32 Tahun 2004. Dalam konteks ini, pembentukan Badan Pewakilan Desa (BPD) dipandang mencerminkan | berjalannya prinsip demokrasi desa. Namun tak lama muncul kecendrungan resentralisasi melalui UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang dilatarbelakangi perubahan fungsi BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, sehingga tidak ada lagi fungsi: kontrol terhadap kepala desa. Hai ini mungkin mengisyaratkan bahwa desa belum sepenuhnya ontonom sebagai suatu entitas yang berdaya secara politik dan ekonomi. Menurut penulis adalah “prospek demokrasi lokal di desa dengan berlakunya UU No.32 Tahun 2004 dilihat dari (1) aspek kelembagaan (pemerintahan) desa sebagai media perangkat ‘politik pemerintahan desa melakukan praktek politik: dan . (2) partisipasi rakyat desa terhadap proses politik dan ekonomi di desa. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, “akuntabilitas lokal. Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Sedangkan desentralisasi politik ini pada tingkat desa menekankan pada aspek VIEW JURNAL