Mataram- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Mataram menyelenggarakan Kuliah umum bertajuk “Dinamika Politik Nasional Menjelang Pemilu 2024” hadir sebagai narasumber Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, S.Sos., M.Si. (30/09).  Kuliah umum dibuka langsung oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dr. Muhammad Ali, M.Si. dalam sambutannya beliau menyampaikan “ucapan terima kasih yang setinggi- tinggi atas waktu luang Rektor UMJ hadir membersamai kami di FISIPOL UMMat berbagi pengetahuan dan informasi politik Nasional yang penuh dinamika khususnya menjelang pemilu 2024. Lebih lanjut beliau menyampaikan semoga dengan kehadiran Pak Rektor UMJ menambah khazanah pengetahuan mahasiswa kami di FISIPOL lebih memahami lagi Politik, dan tidak anti terhadap perkembangan politik yang sedang terjadi, tutupnya”.

Kegiatan yang berlangsung selama 3 jam tersebut selaian dihadiri oleh Dosen dilingkup FISIPOL UMMat juga Mahasiwa Fisipol dari empat Progran Studi, Program studi Ilmu Pemerintahan, Program studi Administrasi Publik, Program studi Administrasi Bisnis dan Program Studi Perpustakaan dan Sains Informatika.

Pada sesi penyampaian materi Kuliah umum, Rektor UMJ memulai dengan memaparkan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa yang sudah sangat kritis, seperti soal Pancasila, seharusnya Pancasila itu sudah selesai sebagai falsafah hidup paparnya, kita bisa melacak di awal-awal perumusan pancasila itu, poin-poinnya merupakan falsafah hidup, setelah era Orde Baru berubah menjadi Ideologi dan dijadikan alat oleh kekuasaan untuk menghegemoni, juga untuk memberangus orang-orang yang bersebarangan dengan Soeharto. Kondisi era Orde baru seakan muncul pada kondisi politik kita hari ini, kita dibuat terpolarisasi oleh penguasa, dimana Islam diperhadapkan dan dibanding-bandingkan dengan Pancasila, sehingga muncul istilah Kampret vs Kadrun, seolah-olah yang lantang teriak Pancasila harga mati adalah mereka itu yang Pancasilais, padahal kalau kita baca sejarah perumusan Pancasila butir-butir yang termuat dalam lima sila itu sangat islami.

“Lebih lanjut Dr. Ma’mun Murad sapaan beliau,  menyampaikan bahwa belum ada sebelum-sebelumnya kondisi politik se ektream sekarang, seperti contoh elit politik yang berkuasa menyatakan sangat pancasilais, tapi faktanya ketika kita melihat produk kebijakan-kebijakan yang dihasilkan, seperti UU Omnibuslaw, UU Minerba dll itukan sangat-sangat tidak pancasilais, dan hal tersebut juga mengkonfirmasi jika suatu kebijakan itu berkaitan dengan kepentingan oligarki politik dan ekonomi pembahasan dan pengesahannya begitu cepat, sebaliknya jika produk UU itu berkaitan dengan kebutuhan Rakyat secara luas pembahsannya pasti molor, begitu lama bahkan dilupakan untuk disahkan”.

(Sesi photo bersama 30/09/2022)

Politik rezim hari ini, selain mampu mempolarisasikan, memecah belah masyarakat juga mewacanakan isu-isu tertentu yang menyudutkan umat islam terus dikembangkan sedemikian rupa seolah-olah itu adalah wacana yang baik, seperti wacana islam washatiyah, padahal islam washatiyah itu adalah agama yang moderat yang tidak ekstrem kiri maupun tidak ektrem kanan, itulah mengapa Negara Pancasila itu sering disebut washatiyah, karena bukan Negara Sekuler juga bukan Negara Komunis tapi Negara Tengahan, ideologi tengahan. Sehingga washatiyah islam bukan hanya melihat dari sudut pandang ekonomi saja, bukan juga melihat dari sisi politik, dan hukum saja tapi melihat dari semua sisi, lanjutnya, wacana washatiyah islam dikaitkan dengan tema radikalisme, terorisme dan islam itu in-toleran berdasarkan hasil survey-survey yang tidak jelas, imbuhnya”.

“Selain menyoroti bobroknya politik Nasional, beliau juga menyinggung soal bobroknya tata kelola Dunia pendidikan, salah satunya seperti yang baru-baru terjadi berbagai perguruan tinggi melakukan demonstrasi terakait akreditasi LAM, yang sangat ingin membunuh kampus-kampus kecil, seharusnya akreditasi biayanya ditanggung oleh Negara tapi malah dibebankan ke Perguruan tinggi yang biayanya sampai puluhan juta dan disitulah terjadi liberalisasi, komersialisasi pendidikan dan indonesia tergolong pendidikannya cukup mahal.

“Terakhir beliau mengajak seluruh peserta yang hadir, terutama Warga Muhammadiyah untuk turut andil dalam poltik kebangsaan, dan tidak anti terhadap politik, karena kalau bukan kita yang waras dan maju pada konteks politik, tentu akan direbut dan diisi oleh orang-orang titipan yang akan duduk di DPR maupun di eksekutif dan hal itu akan menyebabkan semakin rusaknya kondisi bangsa ini. Oleh karena itu jika ingin memperbaiki bangsa ini, harus mulai dengan jihad politik, tutupnya”. (Red).